AD (728x60)

Kamis, 26 Oktober 2017

mboh 1

Share & Comment
  Bagaimanakah Wujud Dabbatul Ardh? Binatang Melata yang Muncul dari Perut Bumi Jelang Hari Kiamat│Dabbat (Bahasa Arab) dapat di artikan sebagai binatang  buas, biantang melata atau binatang raksasa. Sedangkan al-Ardh memiliki arti bumi, namun secara bahasa (Bahasa Indonesia) Dabbatul Ardh memiliki maksud sebagai Binatang yang melata di tanah.

Berdasarkan Al-Quran dan Hadist, Dabbatul Ardh merupakan binatang melata yang keluar menjelang datangnya hari kiamat. lalu timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya ciri-ciri dari Dabbatul Ard ini? apa alasan munculnya Dabbatul Ardh ini menjelang kiamat? berikut adalah uraian singkatnya:

Ciri fisik Dabbatul Ardh.
Derdasarkan QS. An-Naml ayat 28 dan Hadits Dabbatul Ard memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1.      Binatang ini memiliki bentuk tubuh yang besar. Diumpamakan binatang ini adalah bila ia keluar dari bukit Shafa dengan kecepatan kuda dalam 3 hari, maka sepertiga tubuhnya belum kelihatan
2.      Tubuhnya memiliki bulu panjang, roma pendek, dan halus
3.      memiliki beberapa kaki.
4.      Termasuk jenis binatang melata dan buas
5.      Memiliki kemampuan berbicara dengan manusia

Berdasarkan Hadits, Dabbatul Ardh ini akan muncul di Kota Mekkah dekat dengan gunung Shafa setelah peristiwa terbitnya matahari dari sebelah barat. Binatang ini keluar dengan membawa tongkat Nabi Musa dan cincin Nabi Sulaiman. dan Binatang melata ini akan keluar di kota Mekah dekat gunung Shafa, setelah peristiwa Matahari terbit dari Barat, ia akan berbicara dengan kata-kata yang fasih dan jelas. Hal ini sesuai dengan HR. Abu Dawud Ath Thayalisi, Ahmad dan Ibn Majah, dari Hammad bin Salamah dari Abi Hurairah. bahwa Rasulullah bersabda:
“Binatang bumi itu akan keluar dengan membawa Tongkat Musa dan Cincin Sulaiman, maka ia akan mencap hidung orang kafir dengan tongkat dan akan membuat terang wajah orang Mu’min degan cincin, sehingga dengan demikian apabila telah berkumpul beberapa orang-orang yang makan di suatu meja hidangan, maka salah seorang dari mereka akan berkata: “Makanlah ini wahai orang Mu’min” dan “makanlah ini wahai orang kafir.” (HR. Abu Dawud Ath Thayalisi, Ahmad dan Ibn Majah).

Munculnya Dabbatul Ardh Menjelang Kiamat
Sungguh tidak ada yang sia-sia dengan segala cipataan Allah SWT. segalanya pasti memiliki maksud dan tujuan dari Allah SWT. Begitu juga dengan Dabbatul Ardh ini, berikut adalah beberapa alasan munculnya Dabbatul Ardh menjelang hari kiamat.
1.       Binatang ini menegaskan bahwa manusia sudah tidak percaya dengan isi atau ayat-ayat Alqur’an
2.       Dengan tongkat yang dibawanya, binatang ini membuat tanda pembeda antara wajah orang mukmin dengan yang non mukmin
3.       Dabbatul Ardh akan menjerit di sekitar makam Nabi Ibrahim dan Hajar Aswad dengan menebarkan tanah di atas kepalanya. Binatang ini akan menghadap ke timur dan menjerit lalu menghadap ke arah barat dan menjerit lagi.
4.       Suara jeritan Dabatul Ardh disekitar makam Nabi Ibrahim dan Hajar Aswad itu dapat memberi ketakutan bagi orang kafir sehingga setelah mendengar jeritan itu mereka menjadi panik dan lari. Namun sebaliknya jeritan binatang ini terdengar biasa bagi orang mukmin, sehingga mereka tetap pada tempatnya.
5.       Dabbatul Ardh keluar setelah Ya’juj Ma’juj telah mengalami kepunahan akibat serangan virus dari Allah SWT.

Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diproleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.

Dikisahkan dari Abu Ayyûb al-Anshârî:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,”
maka Nabi Muhammad bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?”
Lalu orang itupun mengulangi perkataannya.
Setelah itu Nabi Muhammad bersabda:
“Engkau (bertauhid) beribadah kepada @llah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, berzakat, dan engkau menyambung silaturahmi”.

Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.

(HR. Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim)

Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ

“Ar-rahim itu tergantung di Arsy.
Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka @llah akan menyambungnya.
Dan barang siapa yang memutusku, maka @llah akan memutus hubungan dengannya”.
[HR. Muttafaqun ‘alaihi].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Maimûnah Ummul-Mukminîn, dia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya”.

Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya.
Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan.
Karena setiap orang yang berakal tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya, meskipun dari orang jauh.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”.
[HR. Muttafaqun ‘alaihi].

Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat" Qita, meskipun mereka memutuskannya.
Sungguh kita akan mendapatkan balasan yang baik atas mereka.
dari @llah...

Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat (keluarga-sodara-sahabat dekat).
Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku.
Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku.
Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,”
maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan @llah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan..”
[HR. Muttafaqun ‘alaihi].

Begitu pula firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. [ar-Ra’d/13:25].

Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].

Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.

Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam shahîhain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”.

Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?

Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.

Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegus sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.

Para ahlul-‘ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari Kiamat.

Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

============
#Selpinya Siapa Yeaah?

:) Mau Menghirup Baunya Surga..?
& memasukinya 'kekal didalamnya'..?

(ini 1 diantaranya..)
_______

Dikisahkan dari Abu Ayyûb al-Anshârî:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Tatkala itu Rosul bersama Sahabt sedang berkumpul. Bahwasanya ada seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,”
maka Nabi Muhammad bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?”
Lalu orang itupun mengulangi perkataannya.
Setelah itu Nabi Muhammad bersabda:
“Engkau (bertauhid) beribadah kepada @llah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, berzakat, dan engkau menyambung silaturahmi”.

Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.

(HR. Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim)
_______

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi.
Misalnya :
- dengan cara saling berziarah (berkunjung),
- saling memberi hadiah/bingkisan, atau dengan pemberian yang lain.
- do'a mendo'akan.. yg baik
- saling ingat & mengingatkan tentang yg 'haq'
- berlemah lembut - berseri dgn kesabaran..

Dengan silaturahmi, keberkahan & pahala yang besar akan diperoleh diberikan @llah Azza wa Jalla.
Silaturahim juga menyebabkan makluQ (hamba) tidak akan putus hubungan dengan Rabb_Nya (@llah) baik di dunia & akhirat...
Dan msh banyak 'fadhilah" yg ada..

@amiin____

#silahkan tambahkan warna-warninya
semoga memberi keberkahan utk Qt semua..
Note :
- ini kiriman selpi sedulur siapa ya..?
- Qu lupa yg 'ngirim'
:D kelkelkel

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al Anbya, 21:25)
    Saat rasul menghadap Allah, dia mengucapkan: Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa Kau adalah Tuhanku yang menciptakan alam semesta beserta isinya (AsshHaduala ilahailallah)

Kemudian Allah bertanya kepada Muhammad, “Apa bukti bahwa kau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Muhammad pun menjawab “Ya Allah, Dua puluh sifat-Mu sebagai bukti bahwa Engkau lah penciptaku. Dengan dua puluh sifat-Mu (Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatahu lil hawadists, Qiyyamuhu Ta’la Binafsihi, Wahdaniyat, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam, Qadirun, Muridun, Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirun, Mutakallimun) tiada lagi keraguan, bahwa Kau lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya.

    Allah pun berkata: Jikalau itu yang kau maksud, Ya Muhammad… maka Ku angkat kau menjadi utusanku untuk menyampaikan kebenaran dan Quran kepada umat manusia (wa asshHaduana muhammadurrasulullah)

Apa yang terkandung dari kata ‘Muhammad’ juga ditujukan kepada seluruh pengikutnya, begitu pula dalam pengamalan syahadat dimana kita tidak hanya sebatas lidah tetapi diikuti dari qolbu yang paling dalam. Jadi, ketika insan mengucapkan kalimat syahadat, maka sebenarnya dia berdialog dengan Tuhannya.

    “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, tiada-lah seorang hamba bertemu Allah dengan membawa keduanya tanpa ada keraguan sedikitpun pasti ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)


Nabi Musa as, memohon kepada @llah “Wahai @llah, tunjukanlah kepadaku suatu perkara yang mengandung ridho-Mu agar aku bisa mengerjakannya”.
Kemudian @llah menurunkan wahyu kepadanya, “Sesungguhnya ridho-Ku ada dalam sesuatu yang tidak kau suka, dan kau tidak akan bisa sabar menghadapi apa yang tidak kau suka”.
Musa terus memohon, “Wahai Tuhan, tunjukanlah kepada hamba apa itu?”
@llah menjawab, “Sesungguhnya keridhoan-ku tersimpan dalam keridhoanmu menerima (Qodho’&Qodar) ketetapan-Ku”.

_____________


[1] Makna istiwa’ adalah ‘ala wa irtafa’a (yang artinya menetap tinggi) sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan Mujahid (lihat Shahih Al Bukhari). Sehingga tidak tepat jika beristiwa’ dimaknakan “bersemayam” sebagaimana ditafsirkan oleh sebagian orang. Penafsiran bersemayam ini keliru karena dikhawatirkan adanya kesamaan Allah dengan makhluk. Makna Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy bukan berarti Allah butuh pada ‘Arsy, namun ini bermakna bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya termasuk pula ‘Arsy-Nya yang merupakan makhluk yang paling tinggi. Semoga Allah beri kepahaman.
[2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi , Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Mu’assasah Ar Risalah, cetakan kedua, 1421 H.
[3] HR. Muslim no. 1218.
[4] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H
[5] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.
[6] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437.
[7] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H.
[8] HR. Muslim no 2704, dari Abu Musa.
[9] Kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah.
[10] Lihat Matan Al Aqidah Al Wasithiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni.
[11] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini hasan. Perkataan ini dikatakan dalam kitab As Sunnah (hal. 71), dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masa-ilnya (hal. 263) dari Imam Ahmad. Juga diriwayatkan dari Al Lalika-i (2/92/1), Al Baihaqi (hal. 430-431). Dari riwayatnya tersebut, juga dikatakan dari Adh Dhohak. Riwayat ini juga adalah riwayat Al Ajuri (hal. 289). Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138.
[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138.
[13] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152.
[14] Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165
[15] QS. Thaha: 5.
[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.
Tags:

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Popular Content

"Berbagi Cerahkan Negeri"

Recent Posts

Why to Choose RedHood?

Copyright © LARTAS | Designed by Templateism.com